Oleh: Maria Advenita Gita Elmada*)
“Hidup buruh! Hidup jurnalis! Kita bentuk serikat pekerja! Kita tuntut semua jurnalis di medianya bebas untuk bersuara, bebas untuk berkumpul, bebas untuk berserikat!”
Seruan tersebut disambut dengan teriakan tanda setuju oleh para demonstran lain.
Siang itu, Hari Perempuan Internasional, Kamis, 8 Maret 2012. Tanggal bersejarah bagi Luviana. Ini pertama kalinya ia berorasi. Berdemonstrasi. Hari itu ia masih menggunakan seragam Metro TV berwarna biru. Meskipun sejak tanggal 1 Februari 2012 dirinya bukan lagi bagian dari redaksi televisi milik Surya Paloh itu. Ia di non-job-kan.
Istana negara menjadi saksi bagaimana jurnalis yang seharusnya bebas bersuara dan menyampaikan informasi justru dibungkam oleh kekuatan yang jauh lebih besar lagi, kekuatan sang pemilik modal. Terlebih serikat pekerja yang seharusnya bisa jadi kekuatan bagi mereka yang ada di kelas pekerja -kalau tak mau dibilang buruh- media ini juga seolah tak diinginkan keberadaannya oleh pihak manajemen.
“Ketika saya memperjuangkan teman-teman, memperjuangkan kesejahteraan teman-teman, memperjuangkan soal perekonomian kawan-kawan di Metro TV, tiba-tiba saya disuruh mundur,” kisah Luviana masih di depan para demonstran.
Tertarik dengan masalah ini, aku pun memutuskan untuk menemui Luviana. Di rumahnya di bilangan Ciledug, aku yang datang malam hari itu disambut oleh Luviana dan Candid, putrinya. Sederhana, ramah, itulah kesan pertama yang aku dapatkan dari sosok yang kunilai berani ini.
Luviana mulai bekerja di Metro TV sejak tanggal 1 Oktober 2002. Ia tertarik dengan pendapat orang tentang bekerja di televisi yang katanya penuh tantangan. Apalagi saat itu televisi berita ini baru berumur hampir dua tahun.
Banyak hal yang mengganggu dirinya selama bekerja di sana. Masalah independensi dan keharusan menyiarkan berita-berita tentang pemiliknya yang juga pemain di dunia politik Indonesia, masalah penampilan yang jadi tuntutan utama jurnalis bukannya isi atau kualitas berita, hingga ke masalah kesejahteraan karyawan. Tak jarang kritik keluar dari mulutnya. Menurut Luvi, banyak kritik ini merupakan salah satu rapot merahnya di Metro TV yang juga jadi alasan posisinya sebagai asisten produser tak kunjung berubah.
“Berkali-kali tuh aku ingin keluar, berkali-kali ingin keluar, karena, aduh, ini benar-benar bukan Luvi banget,karena aku harus berkompromi pada banyak hal, ” katanya.
Sebelum di Metro TV, Luviana pernah bekerja di media lain. Di Jakarta ia pernah menjadi bagian dari Jurnal Perempuan dan Kantor Berita Radio 68 H. Luvi menyadari, dari awal ia memang terbiasa bekerja di tempat yang menjunjung tinggi idealisme. Terutama idealisme yang kurang lebih sama dengan dirinya.
Akhirnya tahun 2008 Luviana mulai bergerak di Metro TV, berusaha memperjuangkan kesejahteraan dan membentuk serikat pekerja. Ia mengumpulkan teman-temannya. Sempat tertunda karena kehamilannya tahun 2008 dan juga Pemilu tahun 2009, perjuangan itu menggugurkan banyak orang. Tahun 2011-2012 sekitar 60 temannya mundur dari perusahaan itu. Ketika membuat mosi tidak percaya, gugatan lain, dan pengumpulan tanda tangan untuk membuat serikat pekerja, banyak juga temannya yang menolak tanda tangan. Bukan karena tak ingin, tapi karena takut pada kekuasaan. Belum lagi ancaman blacklist dari HRD apabila ada yang berani membangkang. Padahal menurut Luvi, ini adalah cara mereka menghimpun kekuatan dan memperjuangkan banyak hal termasuk independensi dan kesejahteraan. Dan perjuangan Luvi dan teman-temannya di kemudian hari memang berbuah manis, meskipun ini terwujud setelah Luviana akhirnya di-PHK oleh Metro TV. Reformasi manajemen, pengangkatan pekerja outsource, dan sedikit perbaikan pada kesejahteraan terjadi di Metro TV, walaupun soal organisasi ditumbangkan oleh ketidakinginan sang pemilik tak mau ada serikat pekerja di medianya.
Ketika termenung aku menyadari, ini ironis. Media menjadi tempat masyarakat menyampaikan aspirasi. Kita lihat, di Hari Buruh misalnya, media ikut memberitakan dan menyuarakan tuntutan para buruh, termasuk masalah kesejahteraan dan adanya serikat pekerja untuk melindungi hak mereka. Namun, media sendiri tak banyak yang punya serikat pekerja dan kesejahteraan pekerjanya pun ternyata masih belum baik.
Aku penasaran, bagaimana sebenarnya kondisi riil masalah ini. Orang pertama yang aku hubungi tentang masalah ini adalah Ignatius Haryanto, Direktur Lembaga Studi Pers dan Pembangunan. Lelaki yang berambut panjang dan senantiasa mengikat rambutnya yang panjangnya lebih dari sebahu ini juga mengajar beberapa mata kuliah di Universitas Multimedia Nusantara.
“Industri media berkembang pesat, tetapi kesejahteraan wartawan tidak membaik,” katanya.
Menurutnya, sekarang media sudah betul-betul dilihat sebagai entitas bisnis. Artinya penghematan dilakukan pebisnis, investasi juga diperhatikan betul bagaimana akan break event point. Jadi pemilik media pun melupakan kesejahteraan karyawan.
Soal serikat pekerja, dari ribuan perusahaan pers, hanya puluhan saja yang punya serikat pekerja. Padahal, harusnya organisasi ini lah yang akan mewakili pekerja ketika berhadapan dengan pengusaha media tersebut.
“Pengusaha banyak curiga dengan serikat kerja,” ujarnya ketika ditanya mengapa tak banyak organisasi ini di media. Selain itu, kesadaran berserikat dari wartawan juga dianggapnya masih kecil.
Mengenai kesejahteraan, ada standard yang sudah ditetapkan Aliansi Jurnalis Independen, salah satu organisasi jurnalis yang ada di Indonesia. Tahun ini angkanya sebesar 5,4 juta rupiah. Jauh lebih besar memang dari upah minimum regional memang. Dan tak banyak juga perusahaan media yang bisa memenuhi angka tersebut.
Mendengar kata AJI disebut, aku jadi ingin tahu langsung dari organisasi ini. Terlebih organisasi yang berdiri tahun 1994 ini special di mataku. Pernyataan-pernyataannya, komitmen anti-amplopnya, idealismenya, semua menarik perhatianku yang baru mulai mengenal dunia jurnalistik ini. Tanpa ada kenalan, tanpa ada koneksi, hanya berbekal alamat yang ku dapat lewat internet, aku pun nekat menyambangi Kantor AJI yang ada di bilangan Menteng tersebut.
Tak seperti kantor, hanya lambang AJI yang khas dengan burung merpati dan warna ungunya saja yang terpampang kecil di depan yang jadi penanda. Aku disambut oleh sekertaris kantor, Minda Mora Simanjuntak. Ingin minta data kataku. Dan aku akhirnya diberikan tiga buku yang rasanya sesuai dengan apa yang aku butuhkan.
Di dalam ruang tamu AJI yang ditempeli banyak poster menarik, beberapa di antaranya mengatakan soal anti-amplop, kami mengobrol dan Minda mengarahkan aku untuk datang lagi nanti, bertemu dengan anggota AJI yang sekiranya bisa berbicara tentang masalah ini.
Akhirnya, aku pun pergi dengan janji akan kembali sore harinya, kebetulan akan ada rapat pengurus malam itu, hari Rabu. Sambil mengisi waktu, aku pun membaca buku yang baru saja diberikan. Ada yang judulnya Masih Bertumpu Pada Sang Pelopor:Survei Serikat Pekerja di Perusahaan Media. Buku bersampul merah terbitan tahun 2010 tersebut berisi penelitian di tahun itu.
Ada data yang menurutku menarik. Tahun itu tercatat 2.314 media di Indonesia dengan rincian 1.008 media cetak, 1.297 radio, 79 stasiun televisi, dan belum lagi media online yang terus bertumbuh jumlahnya. Yang punya serikat pekerja dari ribuan media tersebut hanyalah 27 media. Hanya sekitar 1,16%. Padahal serikat pekerja penting posisinya, terutama bila terjadi kasus seperti yang dialami Luviana. Dan tak Cuma Luviana, kasus serupa sebenarnya pernah terjadi sebelumnya, seperti Budi Laksono, jurnalis Suara Pembaruan yang di-PHK, juga 200 karyawan Indosiar yang juga kena pemecatan sepihak, PHK 13 jurnalis Indonesia Finance Today, yang semua terjadi karena menuntut kesejahteraan, yang memang kurang terperhatikan itu.
Sore hari, kira-kira pukul 6, aku kembali ke kantor AJI. Hujan mulai turun, di Menteng tak terlalu deras, tapi kabarnya di Jakarta bagian lainnya cukup deras. Orang yang kutunggu belum juga datang. Aku lanjutkan saja membaca buku yang tadi baru kudapatkan. Salah satunya ternyata ditulis oleh Luviana dan penelitiannya didesain oleh Luviana sendiri dan Ignatius Haryanto. Judul bukunya Jejak Jurnalis Perempuan. Lagi-lagi masalah kesejahteraan, tapi yang ini memang lebih terfokus pada perempuan.
Sesekali pintu ruang tamu terbuka, pengurus AJI mulai berdatangan, dan terkadang mereka bertanya siapa aku dan apa tujuanku disana. Setelah menjelaskan sekilas, mereka pun mengangguk dan kembali ke obrolan bersama teman-temannya di ruang tengah.
Pukul 8, sosok yang menurutku khas wartawan, rambut gondrong diikat, wajah sedikit berewokan, kurus, pakaian santai dibalut jaket karena baru turun dari motor, membawa tas ransel hitam besar menyapaku.
“Maaf ya lama, tadi hujan, aku gak bawa jas hujan,” katanya.
Ini dia orang yang kutunggu, Alwan Ridha, anggota Divisi Serikat Pekerja di AJI. Aku pun langsung memulai wawancara singkat ini.
Dirinya langsung menyebutkan serikat-serikat pekerja yang ada. Tak banyak memang, tahun ini menyentuh angka sekitar 30, itu pun yang aktif juga tak semuanya. Dan tentu ada alasan mengapa serikat pekerja begitu minim di media.
“Ada dua kemungkinan, pertama bahwa kebanyakan jurnalis merasa dirinya bukan sebagai buruh biasanya, mereka mau membuat serikat pekerja tapi agak ogah-ogahan. Yang kedua ada ketakutan dari jurnalisnya sendiri untuk membuat serikat pekerja,” tutur Alwan.
Padahal, serikat pekerja ada di suatu perusahaan demi membangun perusahaan secara bersama-sama, bukan untuk menghancurkan. Kebanyakan serikat pekerja baru muncul ketika ada masalah antar pekerja dan manajemen.
Melompat sedikit ke hari Sabtu, di mana aku bertemu dengan Ariyo Ardi, jurnalis yang kini juga menjadi pembaca berita di acara Seputar Indonesia. Di RCTI, sebuah televisi nasional yang cukup besar ini, tidak ada serikat pekerja.
“Karena sejauh ini kita bisa berkomunikasi dengan baik dengan pemimpin redaksi, dengan direktur, dengan pemilik, selalu terbuka komunikasi itu,” ungkapnya ketika ditanya mengapa tak ada serikat pekerja di sana. Ditambah dengan adanya kebebasan bagi para jurnalis di RCTI, khususnya Seputar Indonesia, untuk bergabung dalam organisasi kewartawanan apa pun.
Jadi senada dengan yang Alwan katakan, ketika perusahaan adem ayem saja, pekerjanya jadi tidak merasa perlu untuk membentuk serikat pekerja itu.
Kembali ke hari Rabu, kembali ke ruang tamu AJI, kembali melanjutkan perbincangan dengan Alwan tadi.
Aku beralih ke masalah kesejahteraan yang menjadi tuntutan utama hampir semua orang, termasuk para jurnalis, termasuk juga Luviana dan mereka yang kena PHK lantaran mencoba memperjuangkan hal ini.
Mengenai kondisi riil kesejahteraan jurnalis, jurnalis di media online Merdeka.com ini mengatakan, di Jakarta saja banyak jurnalis yang digaji dibawah standard provinsi yakni 2,2 juta rupiah. Begitu juga di daerah lain. Ini belum upah layak yang ditentukan AJI. Kalau merunut pada hal itu, akan menjadi sangat sedikit bahkan hampir tidak ada media yang mampu memenuhi standard upah layak dari AJI.
Sebenarnya hal itu sudah aku baca sebelumnya di buku yang diberikan tadi siang, kali ini yang judulnya Upah Layak Jurnalis. Hanya saja ini edisi tahun 2011 lalu, jadi mungkin sudah agak ketinggalan jaman, tapi menurutku cukup menggambarkan kondisinya.
Di buku ini dijabarkan upah layak untuk tahun 2010, memang setiap kota berbeda, tergantung pada kondisi masing-masing tempat, tapi untuk Jakarta angkanya berkisar di 4,6 juta rupiah. Dan hanya tiga media yang mampu memenuhi standard ini, yakni Kompas, Bisnis Indonesia, dan Jakarta Globe. Sisanya memang kebanyakan sudah di atas UMP tahun itu, yakni 1,2 juta rupiah.
Profesi jurnalis adalah profesi penting yang punya tanggung jawab langsung kepada masyarakat. Mungkin muncul pertanyaan mengapa serikat pekerja dan kesejahteraan yang daritadi dibahas ini menjadi masalah penting. Bila ingin disederhanakan, menurutku akan menjadi seperti ini; kesejahteraan dibutuhkan oleh para jurnalis untuk dapat bekerja dengan baik dan sesuai kode etik, serikat pekerja ini jadi saran bagi para jurnalis untuk bisa mewujudkan kesejahteraannya.
Akibat dari kurangnya kesejahteraan jurnalis ini tentu dapat berdampak pada kerja mereka. Tak akan maksimal tentunya. Ditambah beban kerja jurnalis yang berat dan penuh dengan risiko.
Kurangnya pihak media memperhatikan kesejahteraan jurnalis membuat tak sedikit jurnalis yang cari penghasilan tambahan, baik dengan cara yang benar ataupun salah. Yang salah ini yang perlu dikritisi, seperti misalnya masalah amplop yang sudah menjadi rahasia umum.
Aku menanyakan hal ini ke Ignatius Haryanto, karena kebetulan ia juga mengajar masalah etika di media massa. Begini kira-kira pendapatnya.
“Sebagian besar wartawan tahu bahwa amplop itu salah, tetapi karena kondisi kantor yang tak memenuhi kebutuhan itu – karena perusahaannya tak cukup sehat secara ekonomi, maka mereka terima amplop,” katanya.
Banyak yang berdalih, mereka terima amplop, tapi independensi mereka tetap terjaga. Kalau dipikir secara logis, bagaimana mungkin kita berkata jahat terhadap seseorang yang sudah memberikan sesuatu kepada kita?
Masalah amplop ini juga jadi satu hal menarik bagiku. Sayangnya susah menemukan orang yang mau berbicara tentang hal ini. Aku sendiri pun belum pernah mengalami langsung. Namun tak disangka aku bertemu kakak kelasku yang punya pengalaman ini.
Siang itu aku lupa tepatnya kapan, aku sedang santai di ruang majalah kampus, ada Benediktus Krisna di sana, dia kakak kelas dan mantan pemred majalah itu.
“Amplop itu salah, jangan diterima, itu harga mati,” katanya ketika aku tanya soal ini.
Ia pun melanjutkan ceritanya dengan pengalaman disodori amplop. Saat itu Bene, panggilannya, masih kerja magang di Harian Kompas. Hari itu tanggal 30 Maret 2013, masih jelas dalam ingatannya. Ia meliput ke salah satu lembaga negara yang ada di kawasan Kebon Sirih Jakarta Pusat.
Selesai acara, ibu yang nampaknya bagian Humas ini memanggil para wartawan untuk menandatangani buku absen. Bene ikut berbaris di sana. Ketika tiba gilirannya, ia harus tandatangan dan sudah disodori amplop, isinya uang, tak banyak memang, Rp 110.000,00, katanya uang transport.
“Wah, maaf, Bu, saya ga main gituan. Transport kan? Saya bawa motor kok. Terima kasih,” ujar Bene saat itu.
Si ibu terlihat panik, wartawan-wartawan lainnya sudah terima, hanya pria berkacamata ini saja yang menolak.
“Udah, ga apa-apa, Bu. Kompas memang ga ambil itu,” timpal salah satu wartawan lain.
Setelah itu Bene langsung pergi dari tempat itu.
Pendapat pribadinya memang menganggap amplop tak baik, berbahaya bagi independensi dan profesionalitas wartawan. Tapi di satu sisi, wartawan yang bekerja di media yang kurang memperhatikan kesejahteraan, akan sangat mudah untuk tergoda, sungguh dilematis.
Masalah amplop, sebenarnya banyak media yang sudah berusaha menetapkan regulasi hal itu. Kompas menurut cerita Bene, RCTI menurut cerita Ariyo Ardi, semuanya melarang jurnalisnya menerima amplop.
Di AJI pun ada peraturan di mana anggotanya tak boleh terima amplop. Jika ketahuan, mereka akan dikeluarkan. Tapi anggota AJI sekarang hanyalah 1900-an, padahal jumlah jurnalis di Indonesia mencapai 4000-an. Bagaimana dengan sisanya? Apakah mereka memiliki komitmen yang sama?
Pertanyaan selanjutnya adalah berapa banyak media yang cukup sehat ekonominya untuk mampu memfasilitasi kesejahteraan wartawannya sehingga mereka mampu menolak amplop? Selain itu kembali lagi ke pribadi masing-masing, apakah setiap jurnalis memegang teguh prinsip-prinsip jurnalistik yang anti amplop? Tentu hal ini jadi susah untuk diprediksi.
Selain tanggung jawab setiap pribadi, masalah ini juga harus menjadi perhatian perusahaan media. Regulasi yang tegas diperlukan, diiringi oleh fasilitas dan kesejahteraan yang memadai. Para pengusaha jangan hanya memperhatikan peluang emas di bisnis media saja, tapi juga konsekuensi untuk memperhatikan kesejahteraan dan menerapkan prinsip jurnalistik.
Ada satu kutipan di buku Upah Layak Jurnalis, yang menarik, dan merupakan motto dari International Federation of Journalist (IFJ) yang punya anggota lebih dari 600 ribu di 131 negara. There can be no press freedom if journalists exist in conditions of corruption, poverty, or fear (Tidak akan ada kebebasan pers jika jurnalis ada di situasi korupsi, kemiskinan, ataupun ketakutan).
Pernyataan di atas bisa menjadi pertanyaan refleksi bagi jurnalisme di Indonesia. Sudahkah pers kita bebas dari korupsi, termasuk di dalamnya masalah amplop dan suap menyuap? Sudahkah pers kita bebas dari kemiskinan? Dan sudahkah pers kita bebas dari ketakutan, baik kepada pemerintah, penguasa, maupun pemilik modal?
Kembali mengutip dari buku Upah Layak Jurnalis, “Kita merasa besar di luar, tapi sebenarnya kecil di perusahaan,” kata seorang redaktur sebuah harian di Medan. Ya, itulah posisi jurnalis, disegani di luar, tapi di perusahaan tak lebih dari sekedar buruh yang butuh memperjuangkan kesejahteraan. Bagaimana buruh ini bisa jadi kuat? Serikat pekerja menjadi salah satu jawabannya.
Melihat ini semua, jika kembali ke permasalahan Luviana, rasanya apa yang diperjuangkan dirinya bukan hal muluk. Justru menjadi hal dasar yang penting bagi para pekerja media, bagi para buruh media.
Perjuangan sesungguhnya barulah dimulai. “Hidup Buruh! Hidup Jurnalis!”
Maria Advenita Gita Elmada-11140110126