Belajar Tiada Henti

Image

Nama: ELVIRA BERYL VALENCIA GULO

Nim: 11140110226

“Dung daang… Dung…. daaang…. Dung…. daaang….”

Alunan musik perkusi terdengar nyaring di panggung apresiasi Rumah Belajar AnaKlangit. Seorang anak didiknya, sedang asyik memukul-mukul kumpulan kaleng-kaleng bekas tersebut. Pukulan yang awalnya terdengar sumbang, menjadi sebuah nada yang ceria dan energik.

Dia adalah Yanti. Seorang anak didik Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Cikal Klangit. Yanti adalah siswi PAUD Cikal Klangit. Keceriaan tergambar jelas ketika Yanti memainkan alat perkusi. Di tangan kirinya ada sebuah besi pendek kira-kira 15 cm yang digunakan sebagai alat pemukul. Disebelahnya, seorang anak didik lainnya yang terlihat malu-malu, namun tetap semangat memainkan perkusi.

“Dung daang… Dung…. daaang…. Dung…. daaang….”

Mereka tidak berhenti dan terus bermain. Yanti tidak sendiri, ada Kak Glenn, menemani dia menciptakan sebuah irama yang beraturan . Kak Glenn menambah suasana semakin ceria. Ditengah teriknya matahari, tidak menghalangi niat mereka untuk belajar sambil bermain perkusi.

“Dung daang… Dung…. daaang…. Dung…. daaang….”

****

Suara ricuh terdengar dari lapangan Rumah Belajar AnaKlangit. Ada bakti sosial yang dilakukan oleh salah satu SMA swasta di Tangerang. Keceriaan terlihat dan terdengar dari antusias anak-anak PAUD Cikal Klangit dalam menyambut bakti sosial tersebut. Saya memutuskan untuk berbincang-bincang dengan Kak Thamrin, di salah satu saung yang ada disini.

Saung itu adalah saung Creatif, yang berasal dari kata “Care and Pro-aktif ”. Hasil-hasil karya AnaKlangit seperti lukisan, kerajinan tangan, dan lain-lain  dipajang berjejer. Saung sederhana ini berdekatan langsung dengan alam. Kita bisa melihat langsung sungai Cisadane dan pohon-pohon tinggi yang membuat suasana semakin rindang. Kak Thamrin berusaha mencari posisi duduk ternyaman untuk berbincang-bincang. Di hadapan kami ada beberapa cangkir kopi dan beberapa putung rokok yang berserakan.

Kak Thamrin adalah kepala sekolah PAUD Cikal Klangit. PAUD sendiri merupakan bagian dari Rumah Belajar AnaKlangit yang resmi dibuka 26 Desember 2012. PAUD Cikal Klangit berada pada naungan Komunitas AnaKlangit. Namun mereka berdua menangani bagian yang berbeda.

Komunitas AnaKlangit dibentuk sejak 2004. Pendirinya ada 11 orang dari latar belakang yang berbeda, ada pegawai negeri, musisi, pengamen, karyawan pabrik, dan lain-lain. Awalnya mereka ingin membentuk wahana untuk bermain anak-anak yang masih suka mencari uang di jalanan. Mereka melihat bagaimana cara anak-anak tersebut membagi waktu untuk belajar dan bermain di jalan raya. Akhirnya terbentuklah komunitas dengan nama Cikal, lalu seiring berjalan waktu berubah menjadi AnaKlangit.

“Nama AnaKlangit diambil dari pelajaran sahabat nabi bernama Uwais Alqorni. Dia adalah seorang anak yang berbakti pada ibunya sepanjang usia. Di dunia, dia tidak dikenal karena hanya seorang pengembala, pakaiannya compang-camping. Tetapi Allah bilang, di langit semua mengenal dia. Nah, dari situ sumber inspirasi buat kita, semangat di Rumah Belajar AnaKlangit,” kata Kak Thamrin sambil mengembangkan senyumnya.

Keunikan lain berasal dari nama komunitas ini. Banyak orang mengira penulisan “Anak Langit” itu dipisah. Padahal sebenarnya, penulisannya digabung menjadi “AnaKlangit”. Ana berasal dari bahasa Arab yang artinya saya. Huruf K gabung dengan L. Jadi artinya, keluarga membangun cita-cita, dimana maksudnya ada semangat, kebermanfaatan ditengah keterbatasan untuk menuju cita-cita.

Lokasi berdirinya Rumah Belajar AnaKlangit dulu ada di sebelah SD Sukasari, Tangerang. Lahannya berasal dari garapan keluarga pendiri. Lalu tanggal 26 bulan Ramadhan tahun 2004, mereka pertama kali mengamen di Pusat Pemerintahan Tangerang dan mendapat sekitar 1,7 juta rupiah. Hasil mengamen itu digunakan untuk membuat saung pertama. Tetapi dana yang dibutuhkan masih kurang, tanpa patah semangat, mereka saling membantu dan mengamen hingga akhirnya bisa membangun saung pertama yang diberi nama “Saung Tua Sejak 2004”. Saung ini layaknya menjadi monumen sendiri dan bagian dari sejarah berdirinya Komunitas AnaKlangit.

Saat ini lokasi Rumah Belajar AnaKlangit berada di bantaran sungai Cisadane dengan nuansa kembali ke alam. Saung dan rumah-rumah belajar terbuat dari bambu dan kayu. Pohon-pohon yang tinggi menambah suasana semakin rindang.

“Di AnaKlangit, saya merasakan luar biasa dari tahun 2004. Dia dari tidak ada apa-apa, menjadi ada apa-apa, dan kembali lagi menjadi tidak ada apa-apa. Artinya kita ada di dunia yg sementara dan kita akan kembali lagi. Jadi, yang kita bawa itu cerita indah dan di rumah AnaKlangit, kita buat cerita indah, buat sejarah yang ada di alam ini.”

Kak Thamrin tampak menerawang dan tersenyum. Dia mengaku banyak belajar semenjak disini. Menurutnya di Rumah Belajar ini, kita belajar setiap hari. Yang tua belajar dari yang muda, yang muda dari anak-anak, dan yang anak-anak belajar dari yang tua. Jadi semua sama-sama belajar. Oleh sebab itu, konsep awal Komunitas AnaKlangit yang hanya khusus anak-anak bangsa yang beraktifitas di jalan, mulai bergeser menjadi untuk anak-anak bangsa yang mau belajar. Semua profesi dari segala usia bisa belajar di Rumah Belajar AnaKlangit.

Lelaki berusia 42 tahun ini sendiri sudah bergabung sejak tahun 2004. Posturnya kurus dan tinggi. Dia memakai ikat kepala bermotif batik, sama seperti ikat kepala yang dipakai oleh kakak-kakak pengurus lainnya. Kak Thamrin tinggal di Rumah Belajar AnaKlangit sejak dulu. Dia makan dan tidur disini bersama dengan kakak-kakak pengurus lainnya.

Tidak berapa lama, sosok anak muda menghampiri kami. Dia adalah Kak Glenn. Kak Glenn berpostur rata-rata, memakai baju merah dan ikat kepala bermotif batik sama seperti yang dikenakan Kak Thamrin. Kamera Canon tergantung di lehernya. Dia baru saja melakukan dokumentasi Bakti Sosial yang dilakukan oleh anak-anak SMA. Jabatannya di Komunitas AnaKlangit sebagai seorang asisten bendahara sekaligus relawan. Dia menangani “barang-barang” yang tidak bergerak dan yang bergerak.

Kak Glenn sendiri bukan seorang mahasiswa atau tenaga kerja profesional. Dia hanya lulusan paket C setelah empat kali pindah SMP dan empat kali pindah SMA. Tetapi dia bisa menangani bagian keuangan di Komunitas AnaKlangit.

“Menurut saya lebih enak di AnaKlangit daripada sekolah biasa karena banyak ruang yang harus kita manfaatin. Sedangkan di sekolah biasa, kita terpaku pada “teeeet” (bunyi bel sekolah). Nah disini pagi, siang, sore, malam kita semua belajar. Ada tradisi di keluarga AnaKlangit. Tiga menit pertama tamu, tiga menit selanjutnya adalah keluarga,” jelas Kak Glenn.

Belajar dan belajar adalah hal utama yang dipegang oleh Keluarga AnaKlangit. Prinsip mereka adalah belajar dengan alam, belajar dengan lingkungan sekitar, dan belajar dengan sesama. Mereka tidak langsung merasa cepat puas dengan ilmu yang mereka peroleh. Kesederhanaan dan rendah hati inilah yang dimiliki oleh Keluarga AnaKlangit.

“Untuk lebih jelasnya, kakak-kakak sekalian nanti akan mengalami proses LDR,” kata Kak Thamrin semangat.

“LDR kak?” Tanya saya heran. Saya sempat berpikir apakah LDR itu singkatan dari Long Distance Relationship.

“Iya, apa Kak Glen kepanjangannya?” Tanya Kak Thamrin pada Kak Glenn yang juga ikut bersemangat.

“Lihat. Dengar. Rasakan.”

Aku tersenyum mendengar kepanjangan LDR. Melesat jauh dari tebakanku.

“Nah, apa yang kakak lihat, kakak dengar, dan kakak rasakan selama di AnaKlangit itu, murni dari diri kakak sendiri. Bukan dari saya atau Kak Thamrin,” lanjut Kak Glenn.

Melakukan LDR, mengenal lebih dalam lagi tentang Rumah Belajar AnaKlangit. Di Saung Nyeker kami menemui beberapa anak perempuan, sedang berlatih tarian. Dinamakan “Nyeker” karena bersahabat dengan bumi dan alam. Dimana telapak kaki langsung menginjak tanah. Di saung ini ada kulkas dan TV. Selain melakukan tari, anak-anak juga dapat beristirahat dan bermain. Adapula yang menarik perhatian saya. Di samping Saung Nyeker ada sebuah dapur dan saya menemukan seorang anak laki-laki sedang membakar kayu bakar. Kak Thamrin mengatakan bahwa disini anak-anak diajarkan untuk mandiri.

“Kalau misalnya di rumah gas habis, lalu enggak ada uang, nah disini bisa pakai secara gratis untuk memasak atau merebus air.”

Selain saung, di Rumah Belajar AnaKlangit juga ada rumah ibadah berupa Musholla “On The Sky”. Musholla digunakan sebagai tempat kajian-kajian keagamaan, agar selama di dunia tidak menjadi pendusta agama dan tidak merusak nilai-nilai agama. Rumah Belajar AnaKlangit sendiri ingin, agar anak-anak bangsa juga tidak hanya bisa berkembang secara jasmani, tetapi juga rohani.

Kegiatan LDR ini memunculkan sebuah pertanyaan dibenak saya. Bagaimana mereka mendapat pemasukkan sedangkan komunitas ini adalah komunitas non profit?

Memang waktu saya tanya demikian, Kak Thamrin dan Kak Glenn hanya tertawa.

“Biaya dari Tuhan Yang Maha Esa… Darimana saja, selama kita belajar dengan sungguh-sungguh, itu akan diberi rejeki dengan tiba-tiba dan tidak diduga-duga. Dapur kita kecil dan orang disini banyak, tapi isinya tidak pernah kosong. Nah kalau kita pikir itu darimana? Ya dari Allah, dari Tuhan Yang Maha Esa.”

Lalu, bagaimana dengan pendidikan gratis yang mereka sedang lakoni dengan dibukanya PAUD gratis?

Saat ini potret kehidupan pendidikan di Indonesia cukup memprihatinkan. Masih banyak anak-anak bangsa yang tidak bisa bersekolah karena faktor ekonomi. Selain itu, biaya pendidikan di Indonesia semakin mahal. Dalam APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Sedangkan dana untuk membayar hutang negara menguras 25%. Melihat hal ini, tak heran sekolah-sekolah mematok harga yang mahal.

Hal ini terlihat dari biaya pendidikan dari PAUD hingga Perguruan Tinggi membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan kecuali tidak bersekolah. Untuk masuk PAUD, TK, dan SDN saja membutuhkan biaya Rp. 500.000,- hingga Rp. 1.000.000,-, sedangkan untuk masuk SMP dan SMA bisa mencapai Rp. 1.000.000,- hingga Rp. 10.000.000. (Harga ini belum termasuk sekolah swasta dengan mutu dan fasilitas pendidikan yang terbaik)

Komunitas AnaKlangit yang pada dasarnya adalah komunitas yang dibuat untuk melatih dan mendidik anak-anak bangsa yang beraktifitas di jalanan. Tetapi fungsi itu mulai bergeser dari anak-anak jalanan menjadi semua orang. Namun tetap mereka menjalankan fungsi mereka dalam pemberdayaan masyarakat miskin. Salah satunya adalah dibuatnya PAUD Cikal Klangit.

PAUD ini gratis dan khusus untuk anak-anak yang tinggal di pinggiran sungai Cisadane atau anak-anak yang orang tuanya bermata pencaharian sebagai buruh, tukang becak, pencari cacing, dan lain-lain. Tetapi walaupun gratis, PAUD ini tidak mendapat bantuan sama sekali dari pemerintah atau dinas pendidikan. Mereka lebih memilih menolaknya jika ditawarkan karena ingin belajar mandiri. Mereka ingin bermanfaat orang lain. Selain itu, PAUD ini juga bisa berjalan dari tabungan orang tuanya sendiri.

Saya menemui Kak Rahma untuk mendapat informasi lebih banyak mengenai PAUD. Kak Rahma bekerja sebagai sekretaris PAUD Cikal Langit. Dia masih sangat muda, orangnya ramah, tingginya semampai dan memakai hijab. Dia baru saja pulang mengantar anak-anak SMA yang tadi mengadakan bakti sosial.

Kami memutuskan untuk berbincang-bincang di taman bermain anak-anak PAUD. Kak Rahma sekali-kali mengatur posisi duduknya di ayunan dan mulai menggoyang-goyangkannya. Angin sepoi-sepoi membuat suasana saat itu semakin nyaman. Ditambah alunan perkusi yang dimainkan oleh anak didik PAUD Cikal Klangit bersama Kak Glenn.

“Disini program belajarnya ada yang bilang formal, ada juga yang bilang non formal, karena kita disini sekolahnya kembali ke alam. Jadi kalau yang formal ya cuma nulis aja, kalau yang non formal ada yang bermain, bercocok tanam, berternak itu di saung belakang. Hemm, kita ada yang bilang formal atau non formal, tapi dalam arti fokus aja. Anak-anak sampai seberapa jauh menguasai materi. Nah, anak-anak TK itu kita bantu untuk melangkah ke SD,” kata Kak Rahma.

Murid PAUD saat ini mencapai kurang lebih 60 orang dari TK B, TK A, dan Kelompok Bermain (KB). Guru-guru PAUD sendiri berasal dari relawan ada enam sampai tujuh orang.

“Tenaga pendidikan sendiri itu dari IRA “Institut Relawan Anaklangit” dan berasal dari kampus atau sekolah yang pernah datang kesini. Apa yg kita punya, saling berbagi. Di AnaKlangit, relawan itu datang tidak hanya berupa kasih materi, tapi ketika datang, dia membagi ilmu kepada dua anak secara intens, sampai anak-anak itu bisa. Nah, itulah sebuah keluarga. Dia adik kamu, kalau adik kamu bodoh dan tidak mampu, kita pasti malu kan?” Jelas Kak Thamrin.

Kegiatan belajar mengajar PAUD Cikal Klangit dari jam delapan hingga sepuluh pagi. Selain itu, walaupun ruang belajar tidak memadai, mereka tetap semangat untuk belajar. Setiap sudut ruangan atau tempat di Rumah Belajar AnaKlangit dijadikan tempat untuk belajar.

Menurut Kak Thamrin, visi PAUD sendiri adalah bagaimana bisa hadir, tumbuh, kembang, dan bermanfaat. Sedangkan misinya bagaimana bisa cerdas, kreatif, mandiri, berbudi mulia. Misi inilah yang tergambar dari lambang PAUD Cikal Klangit.

Sebuah papan berwarna merah dengan gambar rumah, batang, anak-anak, dan akar tergantung di depan kantor PAUD. Kantornya sangat sederhana dan berbahan dasar bambu. Arti lambang tersebut adalah dua dahan yang menjadi keseimbangan di kanan dan diri. Lalu enam akar melambangkan rukun iman. Diatasnya ada empat buah tergantung, empat buah tersebut merupakan empat misi dari PAUD. Dan semua itu bersatu dalam sebuah rumah, bukan kelas karena rumah melambangkan adanya keluarga, jadi bagaimana rumah itu bisa menjadi sebuah sekolah.

Sama seperti Komunitas AnaKlangit, PAUD Cikal Klangit juga mendapat bantuan dari para donatur. Bantuan bisa berupa barang atau dalam bentuk uang. Kak Rahma menjelaskan, selama ini banyak dari anak-anak PAUD yang mendapat bantuan alat-alat tulis.

“Kalau buku-buku disini sudah banyak, tapi kalau misalnya anak-anak PAUD mau pergi kemana, kayak study tour, ya kadang ada donatur yang bantu, kalau enggak yaudah enggak pergi kemana-mana, tetap belajar disini aja. Tapi anak-anak PAUD sendiri juga diwajibkan untuk menabung setiap hari. Nah tabungannya itu enggak boleh diambil dan baru dipakai kalau misalnya lagi butuh beli apa atau pergi jalan-jalan kemana. Dan itu khusus untuk anak didik saja.”

Alunan Perkusi lama kelamaan mulai pelan. Kak Glenn sudah pergi. Kak Rahma memanggil salah seorang anak didik PAUD bernama Yanti. Gadis mungil berambut pendek ini terlihat semangat usai bermain perkusi. Tangannya menggenggam erat sebuah es lilin. Dia duduk dihadapan saya dan tersenyum lebar. Tidak ada keraguan atau ketakutan terhadap orang yang baru ditemuinya.

Yanti tinggal disekitar tanah Gocap Tangerang dan tertarik masuk di Rumah Belajar AnaKlangit.

“Disini itu temannya banyak, pengen pintar, terus teman-temanya baik. Yang paling senang ya mainan, belajar, nari,” kata Yanti sambil tersenyum lebar. Jejeran giginya yang putih terlihat jelas.

Ya, sebagai anak dari keluarga tidak mampu, dengan adanya PAUD ini, menjadi keuntungan sendiri untuk Yanti agar tetap bisa bersekolah. Tidak hanya itu, selain bersekolah, dia bisa menikmati kegiatan-kegiatan yang ada atau sekedar bermain-main.

“Cita-cita Yanti kalau udah gede apa?”

“Aku pengen jadi dokter hewan sama guru tari.”

“Lho? Kok jadi dokter hewan?”

“Soalnya aku suka kucing. Kalau nari, aku suka nari cublek-cublek suweng (tari tradisional dari Jawa Timur).”

Aku tersenyum mendengar penuturannya. Tak ada salahnya mereka berharap. Siapa tahu di masa depan mereka bisa menjadi seperti apa yang mereka cita-citakan. Rumah Belajar AnaKlangit, membantu setiap anak-anak menjadi apa yang seperti mereka cita-citakan. Apalagi Yanti pernah mengikuti lomba-lomba tari tradisional di Pasar Lama dan di Lippo Karawaci. Kegiatan-kegiatan inilah yang lama-lama bisa membuahkan prestasi sendiri untuk tumbuh kembang anak didik.

Saya kembali berkeliling melihat tiap sudut di Rumah Belajar AnaKlangit. Dari jauh, tiga anak laki-laki dan satu perempuan berlari menuju Kak Thamrin dan menyalami saya satu persatu. Mereka adalah anak-anak PAUD. Tiba-tiba seorang kakak relawan sedang bermain sepeda, datang menghampiri dan menggoda mereka.

“Ayo siapa yang mau naik?”

“Saya… saya…saya…. saya…” jawab keempat anak tersebut. Mereka mengacungkan tangan dan saling berebutan untuk naik sepeda.

“Bayar dua rebu…” canda kakak relawan tersebut. Keempat anak tersebut tertawa. Anak perempuan satu-satunya yang bernama Aisyah, langsung naik ke atas sepeda.

“Aisyah dulu….” kata salah seorang dari mereka.

Dan sepeda melaju, ketiga anak laki-laki yang lain ikut mengejar dari belakang. Aku tertawa melihat keakraban itu. Mereka saling menghargai dan menghormati. Setelah asyik bermain sepeda, Kak Thamrin menyuruh mereka untuk menyiram tanaman di depan kantor PAUD. Mereka berdiri di depan kantor PAUD bersama Kak Thamrin dan melihat tanaman yang belum disiram.

“Ayo disiram dulu….” kata Kak Thamrin.

Keempat anak-anak tersebut menurut. Mereka menuju toilet, mengambil sebotol air mineral kosong dan beberapa buah gayung, lalu mengisinya dengan air. Setelah itu mereka mulai menyiram satu persatu tanaman. Kegiatan itu dilakukan berkali-kali. Ada yang terjatuh saat hendak mengambil air. Tetapi mereka tetap ceria, tertawa, dan saling bersenda-gurau.

Seperti yang di ajarkan Kak Thamrin, semua kegiatan di Rumah Belajar AnaKlangit adalah proses pembelajaran, walaupun bukan belajar secara formal seperti yang dilakukan di sekolah, tetapi makna belajar sesungguhnya ialah lepas dari kegiatan belajar secara formal. Selama 24 jam waktu yang diberikan, selama itu juga kita terus belajar.

Di masa depan, Rumah Belajar AnaKlangit sendiri memiliki harapan. Kelak mereka ingin membangun sekolah gratis, mulai dari jenjang SD, SMP, hingga SMA. Mereka berharap anak-anak tidak ada lagi yang kesulitan biaya daalm bersekolah. Ya, itulah cita-cita mereka. Segala hal yang diimpikan untuk generasi depan. Para relawan-relawan juga terus berusaha dan terus belajar agar bisa mencapai cita-cita tersebut. Komunitas AnaKlangit tidak membutuhkan penghargaan, yang mereka butuh adalah bagaimana bisa bermanfaat untuk orang lain, karena disini mereka masih terus saling belajar.

“Biarkan orang menilai apa, kita tetap lakukan apa yang bisa kita lakukan untuk anak bangsa agar mencapai yang terbaik. Hidup kan cuma tujuh hari: Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu, balik lagi Senin lagi. Nah, dalam tujuh hari itu, bagaimana sih, kita satu jam, kita memberikan sesuatu kepada anak-anak diusia keemasan, memberikan sesuatu yang ketika dia besar akan teringat terus.”

 

This entry was posted in Uncategorized. Bookmark the permalink.

Leave a comment